Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada bagian sebelumnya kita telah mengenal makna salaf dan manhaj salaf serta sebagian diantara pokok-pokok dakwahnya.
Salaf adalah tiga generasi pertama dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Sehingga yang dimaksud manhaj salaf adalah jalan mereka dalam beragama dan beramal. Diantara pokok dakwah salaf ini adalah memberikan prioritas terhadap ilmu agama, mengamalkannya, dan mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah serta menjauhi syirik.
Kita juga sudah menyebutkan sebagian dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti manhaj salaf. Seperti misalnya firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…” (at-Taubah : 100)
Kemudian, para ulama kita juga mewasiatkan untuk mengikuti jalan generasi salaf. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik. Beliau berkata -dalam ucapan beliau yang sangat masyhur- bahwa, “Tidak akan memperbaiki keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak kaum salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat-pendapat akal manusia walaupun mereka berusaha menghias-hiasinya dengan ucapan.”
Berdakwah di atas Ilmu
Salah satu kaidah dan pokok dalam manhaj salaf ini adalah mendakwahkan agama Allah dengan landasan ilmu. Inilah yang difirmankan Allah (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108).
Dakwah ini harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan mengikuti tuntunan. Apabila kehilangan ikhlas maka dia terjerumus dalam kemusyrikan, dan apabila tidak sesuai dengan tuntunan maka dia termasuk pelaku kebid’ahan (lihat Ushul Da’wah Salafiyah, hal. 38)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Sahihnya dengan judul Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan. Dakwah adalah bagian dari ucapan dan amalan. Hal ini menunjukkan bahwa dakwah pun membutuhkan ilmu. Para ulama menjelaskan bahwa ilmu dakwah ini terdiri dari tiga bagian; ilmu tentang materi dakwah, ilmu tentang tata cara berdakwah, dan ilmu tentang kondisi orang yang didakwahi. Banyak kerusakan terjadi ketika dakwah tidak ditegakkan di atas ilmu.
Oleh sebab itu sangat tepat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amal/perbuatan tanpa ilmu maka apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”
Selain itu dakwah pun harus dibangun di atas keikhlasan. Sebab ikhlas adalah syarat diterimanya amalan. Tanpa keikhlasan maka amal sebesar apapun akan sia-sia. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Sebagaimana kita ketahui juga kisah tentang tiga orang yang diadili pertama kali di akhirat dan dimasukkan ke dalam neraka. Diantara mereka adalah orang yang membaca al-Qur’an, menimba ilmu dan mengajarkannya namun tidak ikhlas karena yang mereka cari adalah pujian dan sanjungan dari manusia, dan itu telah mereka peroleh di dunia. Maka di akhirat mereka mendapatkan murka Allah dan siksa-Nya, disebabkan ketidakikhlasan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan hanya dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketidakikhlasan dalam beramal atau berdakwah akan membuat amalan itu sia-sia bahkan mendatangkan dosa dan siksa. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil juga karena niatnya.” Sehingga para salaf berjuang untuk mendapatkan keikhlasan itu dengan perjuangan yang sangat besar.
Diantara mereka ada yang mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” Sebagian mereka juga berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit daripada niatku, karena ia kerapkali berbolak-balik.” Sebagian salaf juga berkata, “Sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah ikhlas.” Sebagian mereka juga berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika disampaikan kepadanya pujian orang-orang terhadap dirinya maka beliau mengatakan kepada muridnya, “Apabila seorang itu telah mengenali hakikat dirinya maka tidaklah berguna baginya ucapan orang-orang.”
Sebagian ulama juga berkata, “Orang yang berakal itu adalah yang mengerti hakikat dirinya dan tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk keadaan dirinya.”
Oleh sebab itu para ulama salaf adalah tokoh terdepan dalam hal dakwah dan juga teladan dalam hal keikhlasan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abi Mulaikah -seorang tabi’in- mengenai sosok para sahabat nabi. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sama seperti imannya Jibril dan Mika’il.” (diriwayatkan oleh Bukhari)
Karena itulah hakikat ilmu dalam pandangan salafus shalih adalah ilmu yang membuahkan ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu adalah rasa takut -kepada Allah, pent-.”
Seorang ulama salaf dipanggil oleh orang, “Wahai ‘alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Aku bukanlah orang ‘alim. Sesungguhnya orang yang ‘alim itu adalah yang selalu merasa takut kepada Allah.”